Senin, 09 November 2009

Jika Bersyukur, Aku Tambah Nikmat-Ku


Syaithon membuka hakikat penting
Ketika di perintahkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala sujud kepada Nabi Adam 'alaihi salaam, syaithon menolak melaksanakan perintah ini. Akibatnya dia di usir, di ancam di masukkan neraka, dan di masukkan ke dalam jajaran makhluk yang terkutuk. Tapi dengan sikap pongah, yang malah menunjukkan kebrengsekannya, mereka berjanji akan menyesatkan anak keturunan Adam 'alaihis salam' yang menurutnya menjadi biang keladi pengusirannya dari surga.
"Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-‘Araf: 16-17).
Disini, syaithon membuka hakikat penting yang tidak di ketahui banyak orang, yaitu mayoritas besar manusia tidak bersyukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang selamat di antara mereka adalah orang yang bersyukur.
Syukur
Kalimat (شَكَرَ الدَّابَّةُ) "syakarot Ad-dabbatu” maksudnya unta itu gemuk. Unta di katakan gemuk jika terlihat padanya tanda-tanda makanan yang telah dimakannya. Untuk di katakan syukur jika terlihat padanya kegemukan melebihi kadar porsi makanan yang telah di makannya. (lihat Uddatu Ash-Shobirin: 122).
Hai keluarga Daud, Lakukan Syukur Kepada Alloh! Subhanahu wa Ta’ala.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kepada Nabi Daud 'alaihis salam :
{اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا}
"Lakukanlan wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Alloh).” (QS. Saba' [34]: 13).
Namun Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman "lakukan" ini menandaskan syukur tidak terealisir dengan sempurna, kecuali dengan mengamalkan perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Jadi syukur ialah realisasi ibadah itu sendiri. Ini tidak seperti yang dipahami sebagian besar orang bahwa syukur itu memuji Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan lidah, atau hanya komat-kamit setelah sholat, atau setelah makan kenyang.
Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa Sallam Menerjemahkan Syukur ke Dalam Tindakan Nyata.
Aisyah rodhiallohu 'anha merasa heran dengan qiyamul lail (sholat malam) Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa Sallam. Beliau melakukannya hingga kedua kaki beliau bengkak. Dengan nada takjub dan penuh tanda tanya, Aisyah rodhiallohu 'anha berkata: "Engkau masih berbuat seperti ini, padahal Alloh telah mengampuni dosa-dosa silammu dan dosa-dosamu pada masa mendatang". Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?" (HR. Bukhori dan Muslim)
Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa Sallam tidak memahami syukur sebatas ucapan, pujian dengan lidah. Menurut beliau, syukur adalah upaya seluruh anggota tubuh untuk mengerjakan apa saja yang diridhoi pemberi nikmat (Alloh Subhanahu wa Ta’ala).
Seluruh makna syukur ini dirangkum Ibnu Al-Qoyyim rohimahulloh dengan perkataannya: "Syukur adalah terlihatnya tanda-tanda nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada lidah hamba-Nya dalam bentuk pujian, dihatinya dalam bentuk cinta kepada-Nya, dan pada organ tubuh dalam bentuk taat dan tunduk". (lihat Tahdzib Madariju As-Salikin: 384).
Bentuk konkrit syukur adalah lidah tidak yang menyunjung selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan dihati tidak ada kekasih kecuali Dia. Kalaupun seseorang mencintai orang lain, ia mencintainya karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Lalu cinta ini dialihkan ke organ tubuh, kemudian seluruh organ tubuh mengerjakan apa saja yang diperintahkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi apa saja yang dilarang-Nya. Itulah figur orang syukur sejati.
Dan terhadap nikmat Robbmulah, Hendaklah Kamu Menyebut-nyebutnya!
{وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ}
Yang dimaksud menyebut-nyebut pada ayat diatas adalah menyebutkan nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada diri seseorang. Misalnya, dengan mengatakan:"Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku nikmat ini dan itu". Atau makna lainnya ialah berdakwah ke jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, menyampaikan risalah-Nya, dan mengajar ummat. Yang benar, ayat diatas mencakup kedua makna itu.
Seseorang perlu ingat saat dirinya berada dalam kesesatan dan bodoh, lalu bagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari kegelapan pekat itu kepada cahaya terang berderang. Ini seperti yang dilakukan Umar bin Khoththob rodiyallohu 'anhu, ia ingat saat dirinya berkubang dalam kejahiliyahan dan makan tuhannya dari kurma. Ia pun tertawa ketika ingat masa lalunya yang lucu itu. Setelah menjadi kaya, seorang muslim harus ingat bagaimana kondisi dirinya saat miskin. Ia mesti ingat hari-hari saat ia berada dalam ujian dan ruang geraknya dibatasi sebelum pindah ke tempat lain, atau sebelum situasi berubah. Ia ingat bagaimana badai ujian barlalu, lantas Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari badai itu. Demikianlah, ia ingat nikmat-nikmat seperti itu, lalu di tinadaklanjuti dengan da'wah ke jalan Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Syukur Umum dan Syukur Khusus.
Setelah keterangan di atas, maka menjadi jelas bagi kita bahwa syukur terbagi ke dalam dua jenis: syukur umum dan syukur khusus.
Syukur umum terkait dengan dunia. Misalnya bersyukur atas nikmat seperti pakaian, makanan, harta, kesehatan, dan kendaraan.
Sedang syukur khusus terkait dengan akhirat. Misalnya bersyukur atas nikmat iman, tauhid, hidayah, bimbingan hingga bisa beribadah, isteri sholihah, anak-anak sholih, dan urusan akhirat lainnya.
Tragisnya sebagian besar manusia hanya mengerjakan syukur umum, karena menurut mereka manfaatnya bisa dirasakan secara langsung. Memang seperti itulah watak manusia.
Syarat-Syarat Syukur.
Ibnu Qoyyim rohimahulloh berkata: "Syukur seseorang terasa lengkap jika memenuhi tiga syarat dan dikatakan orang bersyukur jika melengkapi ketiga syarat itu. Ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1) Ia mengakui nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada dirinya.
2) Ia menyanjung Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat itu.
3) Ia menggunakan nikmat itu untuk mendapatkan keridhoan-Nya".
Mengakui nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada diri kita bisa di lakukan dengan cara kita tidak mengklaim nikmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala itu kita peroleh murni karena keahlian, atau pengalaman, atau usaha, atau jabatan, atau status sosial, atau kekuatan kita. Tapi, kita nyatakan nikmat pada dirinya itu murni berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Qorun mengklaim nikmat pada dirinya itu murni ia peroleh karena keilmuannya. Karena itu Alloh Subhanahu wa Ta’ala menenggelamkannya beserta istana ke dalam bumi.
Jika seseorang mengakui nikmat pada dirinya berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala, otomatis ia menyanjung-Nya atas nikmat-nikmat itu. Jika seseorang menyakini Alloh Subhanahu wa Ta’ala pemberi nikmat dan menyanjungnya, maka ia tidak etis menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Misalnya ia mengembangkan hartanya hanya secara ribawi, atau seseorang diberi kesehatan tapi ia mendzolimi orang lain.
Jika kita melengkapi ketiga syarat syukur itu, maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala pasti menambah nikmat–Nya pada kita dan memeberkahi nikmat-Nya pada kita, karena Dia berfirman:
{لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَ لَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ}
"Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]: 7)

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Text

"Dengan Kemurnian Merekat Persatuan" Copyright © 2009 Community is Designed by lembaga nurul ilmi